Minggu, 26 Oktober 2008

Sumpah Pemuda


Delapan puluh tahun yang lalu, berbagai kelompok pemuda dari seantero nusantara berkumpul dan berikrar. Sebuah semangat yang menjadi salah satu tonggak berdirinya republik ini. Dengan tidak memandang ras suku serta agama, mereka berembug dan menyatukan tekad untuk bersama-sama sebagai sebuah bangsa. Ketika itu kata persatuan dan kesatuan bukan hanya jargon politik, tetapi adalah sebuah tekad yang dijewantahkan secara nyata dan gamblang.

Peristiwa delapan puluh tahun yang lalu tersebut adalah kulminasi dari sebuah penderitaan panjang bangsa ini. Ketika kita adalah bangsa terjajah, bangsa kelas tiga, bangsa yang menjadi hamba sayaha. Semangat kebersamaan yang timbul oleh kesamaan penderitaan, membuncah dan menggelegak dengan tidak memandang pelbagai perbedaan. Satu semangat yang menghimpun berbagai warna berbagai rasa dalam satu kehendak.

Hari ini setelah delapan puluh tahun berlalu, semangat itu mulai pudar. Berbeda warna berbeda pula keinginan, berbeda rasa berbeda juga akan kehendak. Mungkin simpul pengikatnya mulai renggang dan talinya mulai lapuk dimakan masa. Atau dalam hati, kita menganggap semuanya adalah artefak artefak kuno yang hanya layak menjadi penghias dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebuah peristiwa masa lalu yang cukup hanya dikenang.

Ketika sebenarnya semangat kebersamaan menjadi yang utama dalam perjalanan membawa bangsa ini ke tujuannya, benih benih perpecahan yang bertabur. Mestikah harus ada sumpah pemuda ke dua yang mensyaratkan kita dijajah dengan setumpuk penderitaan untuk membangun kembali semangat kebersamaan. Persatuan dan kesatuan yang bukan jargon dan pemanis cakap. Mari perbaharui tekad dan itu dimulai dari diri kita masing-masing.

Tidak ada komentar: